berita

Krisis Ekonomi 1997 Kembali Bayangi Asia

DAFTAR ISI
    Berita

    Seperempat abad yang lalu, krisis keuangan besar melanda Asia dan mengguncang ekonominya. Kini, krisis yang terjadi pada 1997 tersebut disebut kembali menghantui kawasan tersebut.

    Mata uang dan pasar saham di ekonomi terbesar Asia telah jatuh ke posisi terendah dalam beberapa dekade terakhir. Kondisi ini akibat kenaikan suku bunga yang agresif oleh bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed).


    Dalam sebuah laporan baru, sebuah badan PBB memperingatkan bahwa tindakan The Fed bersama bank sentral lainnya yang menaikkan suku bunga berisiko mendorong ekonomi global ke dalam resesi.

    China yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia harus melihat mata uangnya, yuan, jatuh 11 persen terhadap dolar AS. Ini menjadi kondisi terburuk sejak 1994.


    Jepang, ekonomi terbesar ketiga di dunia, bernasib lebih buruk. Yen Jepang telah jatuh 26 persen tahun ini dan menjadi penurunan terbesar di antara semua mata uang Asia.


    Ketika tekanan kuat pada mata uang utama Asia berlanjut, beberapa analis keuangan khawatir bahwa jika situasinya tidak terkendali, maka dapat menyebabkan krisis keuangan di kawasan itu.


    "Lingkungan dolar yang kuat telah menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Asia akan terpengaruh dan apakah ini akan memicu krisis keuangan lain," tulis Kepala Ekonom Asia Morgan Stanley Chetan Ahya, dikutip dari CNN Business, Kamis (6/10).

    Pada musim panas 1997 lalu, krisis besar-besaran di Asia dipicu oleh devaluasi mata uang Thailand, baht. Ini mengirimkan gelombang kejut ke seluruh Asia, yang menyebabkan pelarian modal besar-besaran dan turbulensi pasar saham.


    Kekacauan itu menyebabkan resesi mendalam di kawasan itu, membuat perusahaan bangkrut dan menggulingkan pemerintah.


    Kini, pemerintah negara Asia turun tangan untuk mencegah terulangnya krisis 1997-1998.


    Kementerian Keuangan Jepang mengungkapkan bahwa mereka menghabiskan hampir US$20 miliar pada September ini untuk memperlambat penurunan yen dalam intervensi pertama untuk menopang mata uang sejak 1998. Bank sentral India juga menggunakan hampir US$75 miliar untuk meredakan gejolak dolar-rupee.


    Sedangkan China belum mengungkapkan angka apa pun. Namun, People's Bank of China memperingatkan pedagang yuan pekan lalu bahwa mereka akan kehilangan uang dalam jangka panjang jika mereka bertaruh melawan mata uang.


    Salah satu penyebab utama krisis 25 tahun yang lalu adalah gelembung harga aset yang diciptakan oleh arus masuk investasi yang besar ke beberapa negara Asia Tenggara pada awal 1990-an untuk mencari pengembalian cepat, atau dikenal sebagai "uang panas".


    Selain itu, negara-negara ini memiliki utang luar negeri yang besar, tata kelola perusahaan yang lemah, dan nilai tukar tetap.

    Ketika The Fed mulai menaikkan suku bunga pada pertengahan 1990-an untuk melawan inflasi di Amerika Serikat, dolar mulai naik, mengganggu ekspor negara-negara Asia yang telah mematok mata uang mereka ke greenback.


    Saat ini, ketika dunia menuju resesi global, beberapa faktor yang sama muncul lagi, termasuk pengetatan Fed yang agresif untuk menahan inflasi.


    "Lingkungan eksternal (untuk Asia) telah menjadi lebih menantang dalam konteks tantangan inflasi yang meluas dan laju pengetatan moneter yang hampir sinkron dan tajam," kata analis Morgan Stanley.


    Namun, analis menilai Asia saat ini memiliki fundamental makro yang lebih baik dibandingkan dengan pertengahan 1990-an.

    "Yang penting, tidak ada penumpukan utang luar negeri yang sama dalam beberapa tahun terakhir, yang merupakan salah satu pemicu krisis keuangan Asia," kata Kepala Penelitian Asia ANZ Research Khoon Goh.


    Sementara Kepala Ekonom Asia S&P Global Ratings Louis Kuijs memperkirakan cadangan devisa tidak turun ke level yang sangat rendah dalam waktu dekat di pasar negara berkembang utama Asia.


    China dan Jepang memiliki dua cadangan devisa terbesar di dunia, masing-masing memegang US$3 triliun dan US$1,3 triliun. Jika digabung maka itu adalah sepertiga dari seluruh cadangan devisa dunia.


    Selain itu, utang luar negeri dan utang sektor swasta di Asia saat ini tetap stabil, tidak seperti pertengahan 1990-an.

    Kendati demikian, Asia diperkirakan masih akan dibayangi kesuraman ekonomi karena suku bunga AS diperkirakan naik lebih lanjut. Dolar AS kemungkinan juga akan naik lebih tinggi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global.


    Bank Dunia baru-baru ini memangkas perkiraan PDB untuk Asia menjadi 3,2 persen dari 5 persen tahun ini. Secara khusus China telah melihat prospek PDB-nya turun menjadi 2,8 persen dari 5 persen.


    Namun, analis memperkirakan kondisi akan membaik pada 2023.


    "Ketahanan Asia dalam menghadapi badai global saat ini sebagian merupakan hasil reformasi yang didorong oleh krisis keuangan Asia," kata Neumann dari HSBC.


    Sumber : CNN Indonesia


    PENGAJUAN

    SIMULASI
    HOME

    BERITA

    KONTAK KAMI