berita

Dorong Digitalisasi, OJK Ajak BPR Implementasi Teknologi ICS

DAFTAR ISI
    Berita

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong Bank Perekonomian Rakyat (BPR) terapkan Penilaian Kredit Inovatif (Innovative Credit Scoring/ICS) dalam menjalankan operasionalisasi bisnis kredit. 


    Peluang ini terbuka lebar karena suplai teknologi dari pelaku ICS di dalam negeri bersedia membantu mengembangkan bisnis BPR ke depan.


    Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital OJK Imansyah menyampaikan, saat ini sebanyak 20 pelaku ICS di Indonesia tertarik untuk membangun ekosistem BPR di Indonesia ke tahap lebih lanjut. 


    Apalagi, inisiatif ini disinyalir dapat mendisrupsi tantangan BPS untuk menginvestasi teknologi yang cukup cost heavy.


    Iman mencontohkan, BPR dapat berkolaborasi dengan pemain ICS untuk melakukan asesmen hingga kelayakan kredit seorang debitur atau bahkan lebih spesifik kepada UMKM.


    “Jadi, kami melihat ini positif kepada ICS, baik dari sisi bagaimana nanti membangun pola pembiayaan yang lebih menyasar pada UMKM, memberdayakan BPR, dan kemudian istilahnya BPR juga tidak terbebani dengan ongkos untuk investasi di teknologi informasi,” jelasnya dalam agenda ‘Masa Depan Innovative Credit Scoring Pasca UU P2SK’, Jakarta, Selasa (27/6).


    Lebih lanjut, Iman mengatakan, sejumlah pemain ICS sudah ‘bernafsu’ untuk bisa bekerja sama dengan BPR di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, pelaku ICS menawarkan layanan teknologi secara gratis dalam enam bulan pertama sebagai proses pengetesan produk di BPR.


    Di sisi lain, hal ini juga dapat digunakan BPR untuk bisa menjajal keandalan ICS dalam memonten kelayakan kredit yang diajukan oleh debitur. 


    “Nanti enggak perlu dibayar (jasa ICS), kalo (BPR) sudah satisfied baru dibicarakan,” ungkapnya menirukan keinginan tinggi pelaku ICS.


    Menurutnya, keinginan ini secara langsung menggambarkan penawaran ICS kepada BPR untuk bisa ditindaklanjuti implementasinya. Di sisi komersial, BPR juga tidak perlu pusing-pusing menerapkan prinsip 5C dalam mengukur kelayakan kredit dari seorang calon debitur atau peminjam. 


    Asal tahu, prinsip 5C ini adalah Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral.


    “Nah BPR enggak perlu lagi mengatur debitur dengan (prinsip) 5C. Ini sudah diambil oleh artificial intelligence (AI) ICS dan pasti lebih andal,” ungkapnya.


    Hanya saja, Iman mengakui, OJK masih mempertanyakan siapa yang akan bertugas mengawasi kegiatan ICS ini. 


    Namun, dia mengungkapkan, masalah ini dapat dicari solusinya dengan UU P2SK lewat keberadaan Anggota Dewan Komisioner Kepala Eksekutif (KE) Pengawasan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) di tubuh OJK.


    Kemunculan ini pun dapat mengeliminasi tantangan pengaturan hingga pengawasan yang sebelumnya sulit dilakukan regulator pada awal-awal keberadaan p2p lending. Iman pun optimistis, keberadaan KE-ITSK mudah-mudahan dapat mengatur Inovasi Keuangan Digital (IKD) Indonesia, termasuk aset digital maupun kripto.


    “Karena kalau baca UU P2SK, (pengaturan) itu termasuk yang supporting sifatnya, seperti Innovative Credit Scoring, e-KYC, digital signature dan sebagainya. Itu sudah ada KE Anggota Dewan Komisioner yang memang spesifik mandatnya terkait dengan IKD,” paparnya.


    Sebelum ada UU P2SK, OJK menjelaskan, BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.


    Jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum, kegiatan BPR jauh lebih sempit. Karena BPR dilarang menerima simpanan giro, kegiatan valas, dan perasuransian.


    Adapun, usaha yang dapat dilaksanakan oleh BPR, meliputi penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; dan memberikan kredit.


    Kemudian, menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip yariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; serta menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.


    ICS Indonesia Terus Bertumbuh

    Pada kesempatan sama, Wakil Ketua Departemen Inovasi Keuangan Digital AFTECH Sidiq Suryasemesta menyampaikan, perkembangan industri ICS terus mengalami perkembangan yang positif dalam beberapa tahun terakhir. 


    Hal ini dapat dilihat dari peningkatan anggota yang terjadi dari tahun ke tahun.


    Pelaku ICS Indonesia bertumbuh dari 9 pelaku usaha di 2019; naik menjadi 14 pelaku usaha di 2020; naik menjadi 18 pelaku usaha di 2021, dan saat ini berkisar 20 pelaku usaha di 2022-2023.


    “Penyelenggara ICS telah melayani industri jasa keuangan dalam membantu menilai kelayakan penyaluran kredit mereka,” sebut Sidiq.


    Adapun AFTECH mencatat, klaster ICS memiliki jumlah anggota terbanyak kedua (20 anggota), setelah klaster agregator (34 anggota). Setelahnya ada klaster authentication (8 anggota); financial planner (6 anggota); financing agent (6 anggota); dan sisanya dari 10 klaster lain (20 anggota).


    Berdasarkan data 2020, mayoritas pengguna layanan ICS adalah lembaga jasa keuangan perbankan dan non-perbankan. 


    “Adapun dalam melakukan penilaian kelayakan penyaluran kredit, penyelenggara ICS telah menggunakan lebih dari 50 data poin,” jelasnya.


    Sumber: BPRnews


    PENGAJUAN

    SIMULASI
    HOME

    BERITA

    KONTAK KAMI